Ku hembuskan bara sedihmu
melalui lubang hidungku
dan ku lubangi hidungku
hingga lubangnya tak terlubangkan lagi
Kemudian kau mendidih hingga memedih
dan meranggas habis bulu hidungku
hingga aku menangisi apa yang telah
kutertawakan.
Hingga pada suatu ketika
dimana aku tak tahu rimbanya
kubertanya?
“Seberapa pentingkah tawa itu bagimu?”
Dan kemudian kau mentertawakan ketidak tawaanku
yang kian beranjak, terus menanjak, retak
terus tak berjejak.
Kemudian kita saling berhadapan
hingga tak tahu lagi siapa
yang harus lebih dulu menyapa..?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar